Misaki dan Pertemuan Pertamaku dengan Cowok Itu
Dalam gelapnya dini hari, aku berjalan melintasi jembatan menuju rumahku. Aku sudah harus berada di rumah sebelum terbit matahari, ingat? Kemudian, aku melewatinya; halte bus yang biasa dipakai cowok berskuter dan berpapan seluncur untuk menunggu kedua temannya. Kakiku lantas kuarahkan menuju ke halte itu. Kutaruh kotak gitarku di samping bangku halte, lalu duduk di sana. Tanpa kusadari, tanganku mulai mengelus-elus bangku yang berwarna biru itu. Di sinilah ia biasa duduk, cowok itu. Kupandangi bangku itu sejenak, dan tanpa berpikir panjang, kurebahkan diriku di atas bangku. Terasa sejuk dan nyaman. Ketika tengah tidur-tiduran itu, sekonyong-konyong mataku melihat papan penanda bus untuk berhenti Papan itu! Papan yang selalu membuat pandanganku dari jendela kamar ke bangku halte terhalang. Aku bangkit dari bangku, dan tak lama setelahnya, menggeser penanda itu beberapa meter ke kiri. Beres! Mulai sekarang, aku bisa melihatnya dengan lebih leluasa.
Ketika tengah menyapukan pandanganku ke sekitar (sambil setengah berharap cowok itu akan segera datang), aku tiba-tiba saja mendengar alarm jam tanganku berbunyi. Ah, itu dia. Isyarat bahwa fajar sudah akan tiba, sekaligus petunjuk untukku agar segera pulang. Aku mengecek jam tanganku untuk memastikan sudah jam berapa sekarang. Jam empat, ya....sebaiknya aku segera kembali ke rumah kalau tidak mau terpapar sinar matahari.
***
Pagi ini, di balik tirai beralumunium yang berfungsi mencegah sinar UV, aku kembali duduk-duduk di samping jendela. Seperti biasa, aku mendapati cowok itu sudah berada di depan halte bus dengan skuter dan papan selancarnya. Kali ini, aku dapat mengamatinya dengan lebih bebas karena tidak ada lagi papan yang menghalangiku. Kuperhatikan ia menunduk seperti tengah memainkan sesuatu (mungkin tangannya), dan ketika sadar kalau papan penanda bus yang biasa telah berpindah sekitar lima meter dari posisi normal, ia bergegas menghampiri papan itu sembari celingukan. Aku tertawa tertahan melihat cowok itu bingung sendiri. Setelah aku melihatnya berlalu dengan kedua temannya tak berapa lama kemudian, aku lantas menutup jendela dan beranjak ke tempat tidur. Samar-samar, kudengar suara gaduh di lantai satu. Otousan adalah pemilik sebuah restoran kecil pinggir pantai, jadi dia pastilah tengah mempersiapkan berbagai hal bersama Okaasan untuk membuka restorannya itu. Namun, aku sudah terbiasa dengan kegaduhan itu, jadi aku tidak peduli dan memilih untuk bersiap-siap tidur.
Hari ini, Misaki memberitahuku kalau ia akan mampir. Ia adalah sepupuku sekaligus sahabatku selama ini, tapi karena penyakitku ini, aku tidak bisa bersama-sama dengannya ke sekolah. Dia cewek yang baik bagiku, tapi mungkin tidak bagi guru di sekolahnya. Bayangkan, ia sering membolos hanya untuk menemaniku! Seperti saat ini, ia datang ke rumah pada saat ia seharusnya berada di sekolah.
“Hei, hei, hei,” Otousan menghalangi dengan kakinya saat Misaki—masih dengan seragam sekolah—sudah berada di serambi.
“Osh!” jawab Misaki. Itu merupakan kata-kata favoritnya untuk menanggapi sesuatu.
“Jangan bilang ‘Osh’ ke aku,” jawab Otousan, “kamu bolos lagi, kan?”
“Osh! Kaoru mana?”
“Dia sedang tidur,” Otousan kembali menjawab dengan kaki kanannya masih terangkat, “kalau kamu membangunkannya sekarang, dia akan membunuhmu.”
“Kalau aku yang membangunkannya, tidak akan apa-apa,” balas Misaki.
Mendengar Misaki berkata seperti itu, Otousan lantas menurunkan kakinya, membuat cewek berkaca mata merah itu dapat lewat. “Kalau begitu, ya sana,” tambahnya. Ia lantas keluar rumah, sementara Misaki beringsut ke dalam.
“Obasan, ada yang baru lagi?” ujar Misaki ketika ia mendapati sesuatu tergantung di sisi lemari. Sebuah pakaian khusus berwarna abu-abu yang dapat menghalangi sinar UV. Aku harus mengenakan pakaian itu apabila hendak keluar rumah di siang hari, dan rasanya, ehm, tidak terlalu nyaman. Jujur saja, dengan tudung kepala khusus yang dilengkapi plastik untuk menerawang keluar, aku merasa seperti peneliti di reaktor nuklir jika mengenakan pakaian itu.
“Yang lama sudah kekecilan buat dia,” jawab Okaasan.
“Yah, tentu saja...,” gumam Misaki sambil meraih ujung pakaian itu.
“Kurasa sebaiknya jangan disentuh,” kata Okaasan tiba-tiba. Ia sudah membawa dua buah keranjang yang berisikan perlengkapan retoran. Kemudian, sambil mengenakan sepatu, Okaasan melanjutkan, “Kaoru akan mengetahuinya. Oh, Misaki-chan,” ia berbalik ke arah Misaki yang kini sudah melepaskan pakaian khususku, “aku tidak ingin mengatakan ini, tapi jangan habiskan barang yang ada di kulkas, ya.”
“Baik,” seru Misaki, yang sekaligus mengiringi kepergian Okaasan ke restoran. Setelah itu, dengan setengah berlari, ia menaiki tangga dan bergegas menuju kamarku.
Kalau tadi Otousan bilang ke Misaki kalau aku sedang tidur, maka ia sebenarnya salah. Aku sudah bangun sejak setengah jam lalu, dan wajahku merengut saat melihat seorang supir bus dengan bersusah payah mengembalikan papan penanda bus yang semalam kupindahkan. Misaki menerobos masuk ke kamarku saat aku masih memandang ke luar, dan ia dengan tergopoh-gopoh menghampiriku sambil bertanya apa yang kulihat.
“Bukan, bukan apa-apa,” jawabku. Namun, Misaki tampak tidak percaya begitu saja; ia tetap menyapukan pandangannya ke luar. Aku lantas beranjak dari sisi jendela, sementara Misaki masih melongok-longok, berusaha mencari tahu apa yang sedari tadi kuperhatikan.
***
Malam kembali datang menemuiku, dan di atas sana, bulan keperakan terlihat menggantung. Seperti biasa, aku akan pergi keluar saat malam tiba untuk memainkan gitarku di depan stasiun. Namun, kali ini aku tidak sendirian karena ada Misaki bersamaku. Kami bersepeda bersama menuju depan stasiun lewat Yamacho-ri yang selalu kulalui tiap malam. Misaki yang duduk di depan, dan dia mengendarai sepedaku seperti orang mabuk. Lihat saja, ia terus bergerak oleng ke kanan-kiri! Mentang-mentang sepi, ia bertingkah seakan jalan sempit ini adalah miliknya. Masih untung kami berdua tidak terjembab akibat ulahnya itu.
Ketika akhirnya kami tiba di depan stasiun (untunglah!), aku dengan segera membuka kotak gitarku dan mulai menyanyikan lagu yang kubuat. Misaki, mengenakan tanktop abu-abu dan rok kotak-kotak selutut, lamat-lamat menemaniku bernyanyi bersama malam ini. Yah, setidaknya, aku tidak hanya diiringi oleh sebatang lilin seperti kemarin malam.
♪ Mou kurai, kao shinai de
Dare mo ga shiawase wo yobu egao
Miete iru no?
Warae nakute mo yeah, yeah
Asu e mo omoi wo mune ni
Akai me wo mitte
Waratte mita no?
Tomorrow never knows... It’s happy line!
(Hari sudah gelap, dan aku tidak bisa melihat wajahmu
Semua orang memiliki kebahagiaan di wajah mereka
Dapatkah kamu melihatntya?
Di dalam hatiku, aku berpikir menuju hari esok
Aku melihat mata merahmu
Apakah kamu mencoba untuk tertawa?
Hari esok tiada yang tahu... Ini adalah ucapan bahagia!) ♪
Petikan terakhir gitarku sontak terhenti ketika aku mendapati seseorang berjalan melintas di depanku. Dia...cowok itu! Cowok yang setiap pagi hanya bisa kuperhatikan dari lantai dua kamarku semata. Aku terus memandangi cowok itu sampai ia lenyap dari pandanganku. Bahkan ketika ia tidak ada lagi di depanku, mataku masih terus mengarah ke tempat terakhir ia terlihat. Tentu saja perilakuku tadi memantik rasa penasaran Misaki.
“Kenalanmu?” tanyanya padaku.
Alih-alih menjawab, aku menyerahkan gitarku ke Misaki dan lalu mulai berlari mengejar cowok itu. Meskipun Misaki sempat protes dan bertanya (lebih tepatnya lagi: berteriak) ke mana aku mau pergi, tapi aku tidak peduli. Apa pun yang terjadi, aku harus bisa mengejarnya! Aku harus dapat berbicara dengannya karena mungkin ini merupakan satu-satunya kesempatanku untuk melakukan hal itu.
Aku terus menderapkan sepatuku menuju ke arah cowok itu berjalan sampai akhirnya kudapati ia tengah melewati sebuah terowongan. Dengan tergopoh-gopoh, aku lantas turut menelusuri terowongan tersebut. Aku sempat berhenti sebentar untuk mengambil nafas dan melihat ke arah mana cowok itu melangkah, dan sebentar kemudian, aku melanjutkan berlari.
Jalan-jalan gravel, toko yang sudah tutup, dan kedai mie udon yang tidak terlalu ramai telah kulewati satu persatu. Nafasku terengah-engah dan kakiku terasa penat, tapi aku tidak berkeinginan untuk berhenti. Tidak, tidak sampai aku bertemu dengan cowok itu! Aku kemudian melintasi pertigaan, dan sesaat setelah aku melewati belokannya, aku kembali ke situ. Benar saja, cowok itu ternyata berbelok, dan ia kini tengah menunggui kereta api lewat. Kesempatan emas! Kakiku dengan segera melaju cepat ke arahnya untuk menyusul cowok itu. Aku mempercepat langkahku saat kulihat pintu palang kereta api sudah kembali membuka. Jangan sampai dia pergi lagi, tegasku dalam hati. Namun, tiba-tiba aku sadar kalau aku sudah terlalu dekat untuk mengerem. Bisa ditebak, tubuhku dengan frontal menabrak punggung cowok itu, membuatnya terjungkal ke aspal. Cowok itu mengerang sejenak tatkala lengannya membentur besi rel kereta api. Dengan ekspresi kesakitan, ia memegangi lengannya itu.
“Aku Amane Kaoru,” ujarku masih dengan nafas tak stabil akibat berlari. Aku sudah sejak lama sekali menantikan pertemuan ini, jadi tanpa membuang waktu, aku segera memperkenalkan diri.
“Apa?” tanya cowok itu kebingungan.
“Aku Amane Kaoru,” untuk kedua kalinya, aku kembali menyebutkan namaku.
“Heh?” cowok itu berseru. Ia tampak semakin bingung. Yang ada di pikirannya sekarang mungkin adalah ‘Ada apa dengan cewek ini?’.
“Aku Amane Kaoru,” aku kembali mengulangi kata-kataku.
“Eh, bagaimana...?”
“Umurku enam belas tahun, tinggal bersama orang tuaku, hobiku adalah musik, dan kepribadianku sedikit cepat emosi,” ucapku bertubi-tubi. Aku maju sedikit demi sedikit, dan sebagai balasan, cowok itu mundur sedikit demi sedikit pula. “Oh ya, aku juga tidak punya pacar!”
“Heh?” cowok itu kembali berseru kaget sesaat setelah aku mengutarakan kalimat terakhir tadi—yang lebih mirip pernyataan suka secara tidak langsung. Namun, aku tidak peduli. Aku memang merasakan hal itu dalam hatiku, dan itulah sebabnya aku terus berbicara. Pokoknya, aku harus membuat ia tahu sebanyak mungkin mengenai diriku dan bagaimana perasaanku terhadapnya!
“Aku selalu memperhatikanmu selama ini,” kataku terang-terangan, “dan aku tidak punya pacar!” aku menegaskan kembali statusku. Kemudian, aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Kombinasi antara berlari dan berbicara terus-menerus tanpa henti ternyata memberikan efek yang buruk bagi nafasku.
Melihatku tidak memberondongnya dengan kalimat apa pun lagi, cowok itu kemudian membalas, “Oh, begitu rupanya. Tunggu sebentar, aku....”
“Aku juga belum punya pacar sebelumnya,” potongku cepat, takut kalau ia lantas berubah pikiran mengenaiku (meskipun aku tidak yakin mengenai apa yang ada di dalam pikirannya itu).
“Ya, ya, sebentar dulu...,” ujar cowok itu berusaha menenangkanku. Namun, itu tidak akan berhasil; aku terlalu bersemangat karena sudah dapat berbicara dengannya!
“Binatang favoritku adalah cheetah,” aku melanjutkan, “untuk makanan, aku suka pisang, dan musisi favoritku...,” aku mengangkat tanganku, kemudian mulai menghitung satu persatu, “ada banyak sekali. Harus kumulai dari mana?”
“Kaoru!”
Dengan tergesa, Misaki datang menghampiriku. Ia lantas meraih tanganku, meminta maaf kepada cowok itu, dan lalu cepat-cepat meninggalkannya dalam kondisi masih terduduk di jalan aspal.
“Kenapa?” seruku kepada Misaki setelah kami sudah berbelok di pertigaan. Kenapa, sih, Misaki ini? Apa maksudnya dia ikut campur?
“Apanya yang ‘kenapa’?” balas Misaki. Ia masih terus menuntunku dan memegangi tanganku, tapi dengan segera, aku menampikkan tangannya.
“Jangan menghalangiku!” sergahku kesal. Tentu saja hatiku menjadi dongkol. Setelah akhirnya aku dapat bertemu dengan cowok itu, sepupuku ini justru datang dan menggiringku pergi darinya!
“Apa? Menghalangi?” Misaki menjawab dengan intonasi suara meninggi. “Aku baru saja menyelamatkanmu tadi!”
“Eh?”
“Apanya yang ‘eh?’” balas Misaki. Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan berkata, “Kamu barusan terlihat seperti orang bingung, tahu,” aku mendengar ia tertawa kecil, “dan apa maksudnya dengan ‘aku suka pisang?’ Itu sangat tidak profesional!”
Aku terdiam sebentar. Setelah kupikir-pikir, perkataan Misaki ada benarnya juga. Aku justru terlihat seperti orang bodoh saking bersemangatnya tadi. Aduh, jangan-jangan cowok itu justru mengira aku orang aneh! Sambil memikirkan hal itu, aku kemudian beralih dari Misaki dan mulai berjalan mendahuluinya. “Kurasa begitu,” gumamku perlahan. Melihatku berjalan pergi, Misaki kemudian bergegas menyusulku.
“Hei, kamu belum pernah bicara dengan cowok sejak SD, kan?” tanya Misaki saat ia sudah berhasil menjajariku. “Jadi, ada apa dengan cowok itu?”
Pada mulanya, aku tidak menjawab. Namun, ketika kami sudah kembali ke kamarku, aku lantas menceritakan segalanya mengenai cowok itu, mulai dari bagaimana aku selalu memperhatikannya dari lantai dua setiap pagi sampai apa yang kurasakan kepadanya. Sebagai tambahan, Misaki lalu kuminta untuk duduk bersamaku di sisi jendela sampai cowok itu kembali datang di halte bus keesokan paginya. Berdua, yang kami lakukan hanyalah memandangi cowok itu lewat jendela kamar sampai akhirnya kedua temannya datang. Ia lalu mulai bercanda dengan mereka sebagaimana biasanya.
“Ia sepertinya satu SMA denganku...,” komentar Misaki akhirnya setelah melihat cowok itu lebih detail, “tapi aku rasanya tidak mengenalnya.”
“Itu karena kamu sering bolos, Bodoh!” ucapku. Tentu saja. Bagaimana mungkin kamu bisa mengenal teman sekolahmu kalau kamu tidak pernah masuk?
Misaki tertawa kecil mendengar kata-kataku. “Betul juga,” sahutnya, ”tapi, tapi, seperti yang kubilang, kamu tidak tahu apa-apa tentang dia, kan?”
“Itu karena yang kulakukan hanyalah memperhatikannya dari sini,” jawabku lirih. Sebuah jawaban yang benar-benar menggambarkan keadaanku, karena tentu saja aku tidak akan dapat menemuinya di siang hari. “Aku penasaran, orangnya seperti apa, yah?” aku berkata kepada diriku sendiri sambil terus memandangi cowok itu. “Apa dia jago dalam berselancar?”
Setelah itu, sepi. Misaki tidak menjawab kata-kataku barusan, dan aku tidak mengatakan apa pun lagi. Selama beberapa saat, kami hanya memperhatikan ketiga cowok yang ada di halte bus itu bercanda satu sama lain.
“Kalau begitu...,” ujar Misaki akhirnya, “kenapa tidak kamu pakai saja pakaian yang digantung di bawah itu?”
Apa? Menemui cowok itu dengan mengenakan pakaian seperti itu? “Tidak!” aku menolak cepat-cepat. “Kalau dia melihatku seperti itu, dia akan membenciku!” tambahku memberikan alasan. Kurasa itu wajar; cowok mana yang senang melihat ada cewek yang mendekatinya dengan pakaian aneh seperti itu? Misaki, aku tahu kalau kamu berusaha memberikan saran, tapi sepertinya aku tidak akan bisa melakukan saranmu ini.
Misaki terdiam sejenak setelah aku menyangkal idenya barusan. Kemudian, ia mulai berbicara lagi, “Yah mau bagaimana lagi,” ia menatapku sambil tersenyum, “sudah lama aku tidak ke sekolah, tapi aku akan pergi dan mencari tahu lebih banyak untukmu!”
“Benarkah?” tanyaku tidak percaya. Misaki membalas dengan anggukan mantap. Dasar. Kalau kamu memang berkesempatan untuk berangkat ke sekolah, Misaki, seharusnya kamu menggunakan kesempatan itu untuk belajar!
(Taiyou No Uta Versi Teks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar