Fajar kembali datang menyapaku hari ini. Gelap malam mulai menerang, digantikan oleh berkas sinar mentari merah yang samar. Lampu-lampu jalan masih menyala, dan tidak ada seorang pun yang berada di jalanan. Mereka pada umumnya memang masih berada di dalam rumah jam-jam segini, tidur atau bersiap-siap menyambut hari.
Dari sisi jendela kamarku yang terletak di lantai dua, aku memandang tepat ke arah langit dini hari. Sudah menjadi kebiasaanku untuk menerawang ke luar jendela pada saat fajar menyingsing, dan itu pulalah yang kulakukan kali ini. Awan-awan gelap yang disinari cahaya kemerahan atau rumah-rumah yang lampunya masih menyala menjadi pemandangan yang jamak kulihat, tapi bukan itu yang kutunggu-tunggu.
Tak lama berselang, sebuah skuter yang melintas dari jalan utama berhasil menarik perhatianku. Ya, skuter itu—skuter yang selalu melewati jalan di bawah sana setiap menjelang pagi—merupakan sesuatu yang sedari tadi kunantikan. Baiklah, aku memang tidak menantikan skuter itu, aku menantikan pengendaranya. Dia adalah seorang cowok kurus yang senantiasa menyematkan sebilah papan seluncur di badan samping skuternya itu. Mataku terus mengikuti cowok itu (dan skuternya, tentu saja) hingga ia berhenti tepat di depan sebuah halte bus. Ia lantas turun dari skuternya, menaruh helmnya di spion, dan lalu membeli sekaleng minuman dari mesin penjual otomatis yang ada di sana sebelum akhirnya duduk di bangku halte. Beberapa saat kemudian, dua orang cowok lain lantas datang menghampiri cowok tersebut dengan sepasang skuter pula. Aku memperhatikan saat cowokok itu bercanda dengan teman-temannya, dan setelah ketiganya berlalu dengan skuter mereka, aku kemudian menutup jendela kamarku dengan tirai beralumunium. Kumatikan lampu, lalu kuseret langkahku menuju tempat tidur.
Di bawah balutan selimut, aku mengingat bayangan cowok itu sejenak. Selama bertahun-tahun, aku selalu melihatnya di tempat yang sama, halte bus itu. Selama bertahun-tahun aku selalu melihat cowok itu di waktu yang sama, menjelang fajar. Merupakan suatu hal yang wajar kalau lama-kelamaan aku mulai tertarik padanya, kan? Rasanya, sda sesuatu yang khusus pada dirinya, sesuatu yang menjadi semacam magnet bagiku. Inikah yang orang-orang sebut dengan “cinta”, saat di mana kamu melihat seseorang meskipun orang tersebut tidak hadir di hadapanmu? Aku terus memikirkan sosok cowok itu selama beberapa saat hingga akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mata dan membiarkan diriku terbawa ke alam mimpi.
***
1
Aku, Gadis yang Hidup dalam Gelap
Perlahan tapi pasti, matahari mulai muncul dari kaki langit. Burung-burung yang terbang mencari makan menandakan bahwa kehidupan di Kamakura—sebuah kota kecil di pinggir laut—sudah dimulai. Kereta api berwarna hijau dengan garis putih kecoklatan melintasi jalan, membawa orang-orang pergi ke tempat kerja dan sekolah. Beberapa penduduk lokal yang memang sudah terbiasa berseluncur di pagi hari mengeluarkan papan seluncur mereka untuk beratraksi di atas ombak, sementara sebagian besar lainnya memenuhi jalan-jalan sempit kota. Begitulah keadaannya di kota ini; dari matahari terbit hingga terbenam kembali, semuanya sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Tiada yang berubah.
Tanpa terasa, satu hari telah berlalu, dan matahari—sekali lagi—kembali tenggelam di barat. Aku membuka mata beberapa saat setelah jam wekerku mulai mengeluarkan suara deringnya, membuat kamarku yang senyap menjadi bising. Tanganku meraih-raih jam bulat berwarna kuning itu, dan dengan segera, kupencet tombolnya untuk mengakhiri suara dering yang telah membuatku terjaga. Jendela kamar lantas kubuka lebar-lebar. Setelah menghirup udara malam yang dingin dan sejuk sebanyak mungkin, aku lalu menggeliat perlahan. Kubiarkan angin malam yang berhembus lewat jendela mengibarkan rambut hitam panjangku.
Tak lama setelah itu, aku sudah berganti baju, dari kaos biruku yang kugunakan tidur seharian menjadi sweter abu-abu. Aku lantas mengambil kotak gitarku dan berlari turun ke bawah—ke ruang keluarga. Kudapati Otousan dan Okaasan berada di sana. Otousan tengah mengguntingi kuku jari-jari kakinya, sementara Okaasan tengah menyiapkan makan malam.
“Itu dia, Kaoru ada di sini,” ujar Otousan saat melihatku menaruh kotak gitarku di samping pintu geser. Perlahan, aku lantas memasuki ruang keluarga dan mengambil krim tabir surya dari atas lemari dan lantas mulai melumurkannya di tangan dan wajahku. Menyadari aku tengah melakukan hal itu, Okaasan beralih dari kesibukannya menata meja.
“Malam ini kamu pergi juga?” tanya Okaasan kepadaku, yang kujawab dengan anggukan.
“Setiap malam membuat lagu terus,” Otousan menimpali tanpa memandangku (dan ia terus melihat ke arah jempolnya!), “itu yang kaulakukan, kan?”
Aku bergumam perlahan menanggapi pertanyaan Otousan. Yah, siapa pun tahu kalau itu berarti sama dengan “ya.”
“Apa itu ada maknanya?” tanya Otousan lagi kepadaku.
“Apa ada yang salah dengan itu?” aku membalas pertanyaan Otousan.
Setelah selesai dengan acara gunting kukunya, Otousan lalu bangkit dari kursi. “Apa boleh buat. Karena hari ini aku libur,” ia berkata kepada Okaasan, “aku akan pergi melihatnya tampil.”
“Akan kubunuh kalau datang,” aku berkata cepat-cepat sambil terus melulurkan tabir surya di lenganku.
Otousan tampak sedikit terkejut mendengar kata-kataku, tapi dia akhirnya mengerti. Sepertinya, dia tahu kalau putrinya tidak ingin dilihat. “Ya sudah kalau begitu.”
Aku kemudian menggosok-gosokkan kedua tanganku, memastikan kalau tabir surya yang kukenakan sudah sepenuhnya terserap ke dalam kulit. “Kau tahu kapan matahari akan terbit, kan?”
Okaasan lantas bertanya kepadaku, yang—sekali lagi—kubalas dengan gumaman. “Jangan cuma menjawab dengan ‘hem’ saja,” tegurnya.
“Jam 4.40 pagi,” kataku. Sesuai permintaannya, aku menjawab dengan kata-kata.
“Kalau begitu, pastikan kamu sudah ada di rumah sebelum jam empat,” tambah Okaasan lagi.
Sementara Okaasan meletakkan semangkuk besar sup, aku beranjak ke tempat duduk. “Aku mengerti,” jawabku perlahan.
“Juga jangan pergi terlalu jauh,” Okaasan kembali menasihati.
Aku, yang kini tengah memegangi gelas selagi Otousan menuangkan air ke dalamnya, hanya menjawab dengan jawaban standar, “Iya, iya.”
Setelah itu, Otousan memulai makan malam bersama dengan ucapan itadakimasu (semacam ucapan selamat makan), dan aku lantas mulai menyantap makanan yang ada di depanku.
***
Saat-saat setelah makan malam merupakan saat yang menyenangkan bagiku. Pada saat itu, aku akan keluar rumah, dan—seperti kata Otousan—membuat lagu. Tapi, sebenarnya aku lebih sering menyanyikan lagu yang kubuat itu ketimbang membuat lagu baru. Seperti saat ini. Setelah makan malam, aku membawa kotak gitarku keluar melewati gerbang rumah bersamaku. Aku menunggu sejenak saat palang pengaman kereta api menutup, dan setelah palang itu kembali membuka, aku melanjutkan perjalananku melewati sebuah gang perumahan dan pertokoan yang sepi bernama Yamacho-ri. Kemudian, aku melangkahkan kakiku menuju tempat biasanya aku bermain—depan stasiun. Di tempat ini, biasanya aku akan duduk di lantai dan mulai membuka kotak gitarku untuk kemudian memainkannya. Beberapa batang puntung rokok yang mengotori lantai kusapu dengan menggunakan sepatuku. Lantai ini akan kupakai, jadi wajar saja kalau aku meminggirkan puntung-puntung rokok itu. Ketika aku tengah membersihkan lantai yang akan kugunakan dari puntung rokok dan sampah, aku melihat sepasang polisi mendekati tempatku berada dengan mobil patroli mereka. Memang bukan merupakan hal yang wajar jika seorang gadis seusiaku terlihat berada di luar rumah jam-jam segini.
“Apa dia tersesat?” samar-samar, aku mendengar polisi yang lebih muda bertanya kepada polisi senior di sampingnya.
“Tak apa, kamu tak perlu mencemaskan gadis itu,” jawab sang polisi senior. “Orang tuanya sudah memberitahukan sebelumnya.”
“Memberitahukan apa?”
“Bagaimana mengatakannya, ya...,” polisi senior itu menahan kalimatnya, mencari penjelasan yang paling mudah, “XP adalah sejenis alergi. Kalau terkena matahari, maka penderitanya bisa mati.”
“Hah?” polisi yang lebih muda terkejut. Tidak heran. Ada berapa banyak alergi di dunia ini yang dapat membuatmu meninggal hanya karena terkena sinar matahari?
“Itulah sebabnya ia hanya dapat keluar di malam hari.”
Aku tersenyum mendengar percakapan mereka, tapi aku tidak memedulikannya. Alih-alih begitu, aku tetap membersihkan puntung-puntung rokok atau sampah lain yang mengotori lantai. Setelah merasa kalau lantai itu sudah cukup bersih, aku kemudian duduk di situ dan membuka kotak gitarku. Kunyalakan sebatang lilin yang sengaja kubawa dari rumah, sekadar untuk menemaniku bermain gitar. Setelah itu, aku menyetem gitarku, menggenjrengnya sekali, dan kemudian mulai menyanyikan lagu ciptaanku.
♪ Dare no tame ni ikite iru no?
Saenai hibi wo sugoshite, yeah
Yoasa mo itami mo
Dono kurai, kanjiteru no?
Tarinai kinou ni obore
Yume ni kaita kyou
Soraenakutemo, yeah, yeah
Yoake mae no matataku hoshi wa
Kiete itta no?
Asu e itta no?
Tomorrow never knows..., It’s happy line!
(Demi siapakah aku hidup?
Hari-hari berawan telah berlalu
Rasa lemah ini, rasa sakit ini
Seberapa banyak yang kau rasakan?
Aku menenggelamkan diriku dalam hari kemarin dengan sia-sia
Kutulis mimpiku hari ini
Meskipun itu belum selesai, yeah, yeah
Bintang-bintang yang berkelap-kelip sebelum fajar
Apakah mereka benar-benar hilang?
Atau mereka akan kembali lagi besok?
Hari esok tiada yang tahu... Ini adalah ucapan bahagia!) ♪
***
Namaku Amane Kaoru. Enam belas tahun. Selama ini, semenjak lahir, aku hanya bisa keluar malam dan tidak bisa keluar saat siang ketika matahari bersinar. Aku menderita sebuah penyakit kulit bernama Xeroderma Pigmentosum atau biasa disingkat XP. Kulitku sangat sensitif terhadap sinar ultraviolet yang berada dalam sinar matahari. Apabila terekspos sedikit saja, maka akan timbul bercak-bercak coklat yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker. Lebih-lebih jika aku seharian berada di luar, bisa dibayangkan bagaimana dampaknya, kan?
Meskipun aku tidak bisa beraktivitas di siang hari, setidaknya aku masih punya sesuatu untuk dilakukan pada malam hari. Ya, jika malam sudah tiba, aku akan keluar membawa gitarku dan mulai bernyanyi di sini—di depan stasiun—sendirian. Aku suka mengarang-ngarang lagu dan, tentu saja, memainkannya dengan gitarku. Cita-citaku yang paling utama adalah masuk dapur rekaman dan merilis album yang berisikan lagu ciptaanku sendiri; meskipun sepertinya itu mustahil, ya? Aku telah menjalani kehidupan seperti ini selama bertahun-tahun, dan kurasa, aku cukup menikmatinya. Namun, hari esok memang tak bisa ditebak. Siapa yang tahu kalau keesokan harinya, hidupku akan mulai berubah?
(Taiyou No Uta Versi Teks )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar