Namanya Fujishiro Kouji
Keesokan harinya menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menyebalkan buatku. Menyenangkan karena Misaki ternyata betul-betul melaksanakan ucapannya kemarin. Bayangkan saja, ia rela membawa sebuah handycam ke sekolah hanya untuk merekam cowok itu supaya dapat dipertunjukkan kepadaku! Lewat pintu kelas yang terbuka sedikit (ralat, lewat pintu kelas yang ia buka sedikit), Misaki mengambil gambar cowok itu di saat pelajaran tengah berlangsung (artinya, dia sama saja bolos). Sedangkan menjadi hari yang menyebalkan karena aku harus pergi ke rumah sakit. Namun, seperti biasa, aku menolak saat Otousan dan Okaasan hendak mengantarku ke sana, padahal aku harus melakukan pemeriksaan badan. Aku memang membenci rumah sakit sejak dulu. Bahkan bisa kubilang rumah sakit merupakan tempat nomor satu yang kubenci sedunia. Lagipula, aku merasa sehat-sehat saja, jadi buat apa ke sana? Penyakit XP, sejauh yang kutahu, memang belum ada obatnya, tapi selama aku tidak terpapar sinar UV, kurasa tidak akan menjadi masalah. Pada akhirnya, Otousan dan Okaasan pergi menemui dokter tanpaku.
Misaki datang ke rumah sore harinya dengan masih mengenakan seragam sekolah, seperti biasa. Sesuai janjinya, ia membawa serta hasil rekaman handycam-nya. Aku dengan segera lantas menyambungkan handycam Misaki dengan TV yang ada di kamarku, dan gambar cowok itu—yang tengah duduk di kursi dekat jendela—langsung tertampang di hadapanku. Sepertinya, ia tidak terlalu antusias mengikuti pelajaran.
“Namanya Fujishiro Kouji,” Misaki mulai memperkenalkan cowok itu. Namun, ia tidak benar-benar menonton bersamaku dan lebih memilih membuka-buka majalah remaja yang sudah lama tak kubaca. “Keren, kan?” tambahnya sambil meraih sebuah kipas angin.
“Fujishiro Kouji,” aku mengulangi dua kata terakhir yang Misaki ucapkan sembari tersenyum. Jadi itu namanya? Sebaiknya aku memanggilnya apa, ya? Fujishiro-san atau Kouji-kun? “Dia sedang tidur, ya?” tanyaku kepada Misaki ketika untuk kesekian kalinya, aku melihat kepalanya terangguk-angguk tanda ia hampir tertidur.
“Tidak, kok,” balas Misaki sambil terus membaca. “Sepertinya, ia terlihat agak bodoh.”
Mataku terus menatap layar TV, bahkan setelah gambar di situ sudah beralih menjadi koridor sekolah. Jadi itu SMA, ya? Ceweknya mengenakan seragam model pelaut dan rok hitam selutut seperti yang dikenakan Misaki, sedangkan cowoknya memakai kemeja putih dan celana panjang hitam seperti yang cowok itu—Kouji—kenakan. “Oh, tempatnya lebih bagus dari yang kubayangkan,” aku mengomentari SMA tempat Misaki bersekolah.
“Betul juga,” kata Misaki, “ini pertama kalinya kamu melihat SMA, kan?”
“He-eh,” aku berkata tanpa menoleh. Tanpa berkedip, aku terus memperhatikan rekaman Misaki yang kembali memperlihatkan interior sekolahnya. “Semua orang terlihat sangat menikmatinya,” ucapku.
“Heh?” Misaki berseru kaget sesaat setelah aku berkata demikian. “Tidak ada gunanya pergi ke tempat seperti itu!”
Misaki akhirnya berhenti mengambil gambar interior sekolahnya dan kembali ke Kouji. Namun, kali ini ia tidaklah sendirian; ada dua cowok lain yang bersamanya. Menyadari hal itu, Misaki lantas melempar majalah yang tengah ia baca dan merosot ke sampingku untuk menjelaskan siapa mereka.
“Well, kelihatannya tiga orang ini selalu bersama-sama,” ujar Misaki menerangkan. Aku mengangguk sejenak, menunggu kata-katanya berikutnya. “Yang ini, temannya yang pertama,” ia menunjuk cowok memiliki rambut panjang yang disemir cokelat, “namanya Onishi Yuuta,” tambahnya. Kemudian, ia beralih ke cowok yang lain. Berbeda dengan yang pertama, kali ini cowok itu berambut hitam dengan gaya spiky, “Dan yang ini, temannya yang kedua, Satsuo Haruo,” ia menambahkan.
Rekaman lantas berganti memperlihatkan Kouji masuk ke WC. Benar-benar deh, Misaki. Apa sih yang kamu pikirkan sampai-sampai menguntit seorang cowok yang hendak ke WC segala? Meskipun begitu, aku tetap dengan sabar terus melihat layar TV, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Kulihat dua orang teman cowok itu—Yuuta dan Haruo—berjalan melewati toilet, dan tak lama berselang, Kouji keluar sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku tak yakin dia mencuci tangannya,” komentarku saat menyaksikan adegan itu.
“Sepertinya dia mencucinya,” balas Misaki setelah kami melihat Kouji mengibas-ngibaskan tangannya. Kouji melihat sekeliling, dan saat menyadari kedua temannya ada di dekat situ, ia bergegas menghampiri mereka. Tiba-tiba, ia memegang kepala cowok berambut panjang (Yuuta, ya?), dan—coba tebak—ia menggosok-gosokkan tangannya (yup, tangan yang barusan ia gunakan dari WC) ke rambut Yuuta!
“Ah, mengerikan,” ujarku sambil tersenyum melihat tingkahnya itu. Kouji lantas melakukan hal yang sama kepada Haruo, membuat kedua temannya itu dengan segera langsung mengejarnya. Setelah itu, rekaman berakhir, dan layar TV-ku berubah menjadi biru. Sudah selesai? Cepat juga, ya.
“Nah, demikian perkenalannya,” kata Misaki.
Aku berpikir sejenak mengenai apa yang harus kukatakan untuk menilai Kouji setelah melihat video Misaki barusan. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang apa saja perbuatannya sedari tadi, aku sampai pada satu kesimpulan. “Setelah dipikir-pikir,” ujarku, “dia terlihat seperti orang bodoh.”
Misaki langsung menoleh kepadaku begitu aku selesai mengucapkan pernyatan itu. Sepertinya, ia tidak menyangka aku akan mengeluarkan komentar seperti itu terhadap Kouji mengingat aku sangat berkeinginan untuk mengenalnya. Tapi mau bagaimana lagi, kelakuannya memang seperti orang bodoh, sih!
***
Ketika aku pergi keluar malam harinya, aku membawa serta handycam Misaki bersamaku. Aku masih ingin melihat video tentang Kouji yang telah ia rekamkan, dan itulah mengapa sepanjang perjalanan melintasi Yamacho-ri, aku berjalan sambil tertunduk mengamati handycam. Tampak Kouji tengah melewati jalan yang sama denganku, hanya saja, di dalam video itu hari masih siang dan Kouji menggunakan payung karena gerimis (omong-omong, apa Misaki tidak takut handycam-nya rusak, ya?). Senyum kecilku muncul saat melihat gambar Kouji di situ. Aku berjalan di tempat yang sama dengannya, pikirku.
Aku menyempatkan diri untuk mampir ke halte bus yang biasa sepulangnya dari depan stasiun. Tanganku masih memegangi handycam Misaki, dan aku masih memperhatikan tingkah Kouji yang berhasil ia rekam. Handycam itu kini menampilkan Kouji tengah duduk di bangku berwarna biru yang sama dengan yang kududuki. Kemudian, aku melihat ia mengambil botol plastik dan lalu mulai minum dari botol itu. Aku lantas juga meminum sebotol Pocari Sweat yang kubawa dari rumah. Aku melakukan hal yang sama dengannya, pikirku. Setelah itu, aku kembali berkonsentrasi pada handycam Misaki. Namun, saat kusadari baterai handycam tersebut sudah mencapai titik kritis, aku menutup handycam itu dan mematikannya.
Aku kemudian beralih memandangi langit malam yang gelap. Bulan besar yang sudah kuakrabi tampak berada di sana, seakan berbalik memandangiku. Sambil tetap menengadah ke atas, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu yang kubuat. Tak lama, aku sudah berinisiatif untuk membuka kotak gitarku dan memainkan lagu tersebut. Lagu itu bisa kubilang masih jauh dari sempurna; liriknya baru kutemukan sebagian dan aku belum memberikan judul baginya. Aku terus bernyanyi sambil memetik gitarku sampai aku menyadari ada seseorang. Seseorang yang tingkahnya sejak tadi kuperhatikan lewat handycam. Orang itu... Kouji! Ia kini tengah berada di atas skuter miliknya dengan mesin dan lampu masih dihidupkan. Di kepalanya, sebuah helm lucu bercatkan bendera Inggris terpasang. Kami saling memandang selama beberapa saat tanpa bersuara, tapi akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu.
“Se...selamat malam,” ujarku gugup. Duh, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
“Selamat malam juga,” balas Kouji, “kamu cewek yang waktu itu, kan?”
Ah, dia ingat! Ralat, kenapa dia masih mengingatnya? Oh ya, tentu saja; tidak banyak cewek yang menghantamnya dari belakang dan berbicara terus-menerus bagaikan rangkaian gerbong kereta api, jadi tidak heran kalau ia masih mengingatku. “Eh, ya,” kataku membenarkan, “yang waktu itu...maaf, ya,” tambahku. Kalau aku mengingat hal itu lagi, rasanya benar-benar memalukan!
“Tidak mengapa,” jawab Kouji. Setelah itu, ia terdiam selama beberapa saat. “Oh, ya, apa yang kaulakukan di sini?”
“Aku baru pulang dari bernyanyi,” aku menjawab sambil memperlihatkan gitarku. “Aku sering bernyanyi di depan stasiun kereta,” ucapku menambahkan.
“Ah, jadi kamu salah satu dari mereka yang bernyanyi di jalanan?”
“Ya, semacam itulah.”
“Benarkah?” ujar Kouji. Ia lantas mematikan mesin skuter dan lalu menanggalkan helmnya. “Lagu yang kaumainkan tadi bagus juga. Apa judulnya?”
“Aku belum memutuskannya,” jawabku. Seperti yang kubilang, lagu ini belum benar-benar selesai, kan?
Kouji tampak terpana mengetahui aku membuat laguku sendiri. “Jadi kamu yang menulisnya sendiri?” tanyanya kagum, yang kubalas dengan anggukan. “Wah, hebat sekali!”
“Benarkah?” tanyaku gembira. Senang rasanya dipuji oleh seseorang yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jauh. Sebagai balasan (dan untuk menyambung pembicaraan), aku lantas bertanya kepada Kouji, “Apa itu...papan seluncur?” Pertanyaan bodoh. Dilihat dari mana pun, tentu saja itu adalah papan seluncur! “Eh...papan seluncurmu keren,” tambahku cepat-cepat.
“Kamu tahu papan ini?” balas Kouji. Ia terlihat senang setelah kupuji seperti itu. “Aku membelinya setelah lama memilih,” ujarnya sambil mengambil papan seluncur itu dari skuternya. Dibawanya papan seluncur itu ke hadapanku, kemudian ia melanjutkan berkata, “Sampai sekarang, masih menjadi yang terbaik bagiku. Yah, meskipun ini barang bekas.”
Aku terdiam menanggapi perkataan Kouji. Ia terlihat bersemangat ketika membicarakan papan seluncur, sama halnya jika akau mulai berbicara tentang lagu. Ah, kuharap pembicaraan kami malam ini yang berawal menyenangkan akan berujung manis.
“Kalau punyamu bagaimana?” Kouji bertanya padaku.
“Eh?”
“Itu juga barang bekas?”
Sedetik kemudian, aku langsung sadar kalau yang Kouji maksudkan adalah gitarku. Sebenarnya, ini bukanlah barang bekas; aku membelinya langsung dari toko. Namun, aku tidak enak kalau mengatakan seperti itu. Salah-salah aku justru dikira sombong. Karena itu, alih-alih menjawab, aku kemudian memasukkan gitarku kembali ke dalam kotaknya dan lalu menyenderkannya ke motor Kouji supaya ia tak bertanya-tanya lagi. Selepas itu, aku kembali duduk sementara Kouji membeli sesuatu di mesin penjual otomatis. Ia kemudian duduk di bangku yang sama denganku setelah mendapatkan minumannya.
Jantungku berdetak dua kali lebih kencang di saat Kouji menghempaskan diri di bangku itu. Ya, aku sadar aku kini berada dalam situasi apa: dalam keremangan malam yang sunyi, aku tengah duduk berdua bersama Kouji. Fujishiro Kouji, cowok yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jauh. Cowok yang ingin sekali kuajak berbicara berdua saja, hanya saja baru kali ini aku berkesempatan untuk melakukan hal itu (jangan hitung kejadian yang kemarin; itu sama sekali bukan bicara berdua!). Dan yang paling penting, Kouji—yang pernah kubilang telihat seperti orang bodoh itu—adalah cowok yang kusukai. Aku memang memendam perasaan itu; aku selalu memperhatikannya, berusaha mengetahui tentang dirinya, dan—seperti sekarang ini—menjadi gugup ketika bersama dengannya.
Selama beberapa menit, kami hanya terduduk dalam diam. Kouji hanya menatapi skuternya sambil memegangi minuman, sementara aku... hem, pada awalnya aku memang memilih untuk melihat ke arah lain, tapi tak lama kemudian, mataku sudah beralih memperhatikan wajahnya. Aku belum pernah dapat melihat wajah Kouji sampai sedekat ini, dan ketika aku melakukan hal itu, aku merasakan mukaku menjadi panas!
“Kamu tinggal di sekitar sini?” Kouji tiba-tiba bertanya sambil menoleh, membuatku terkaget. Dengan segera, aku mengalihkan pandanganku supaya tidak terlihat kalau aku memandanginya sedari tadi.
“Aku tinggal di rumah yang berada tinggi di sana,” jawabku sembari menunjuk rumahku sendiri.
“Di sana? Benarkah?” tanya Kouji heran. “Setiap hari aku lewat jalan ini, loh!”
“Ya, aku tahu.”
“Hah? kamu tahu?” untuk kedua kalinya, Kouji tampak terkejut. “Oh, ya, kamu sering melihatku dari atas, ya....”
“He-eh,” balasku.
Kouji terkekeh sejenak setelah aku menjawab kalimatnya. “Sedikit memalukan juga,” katanya, “mulai sekarang, aku tidak bisa melakukan hal aneh lagi,” ia menambahkan sembari memandang ke arahku.
Dipandangi seperti itu membuat dadaku kembali berdegup-degup. Tidak, aku tidak sanggup memandangi wajah tersenyum itu; aku terlalu malu untuk melakukannya. Karena itu, aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, berusaha agar mataku tidak menatap mata Kouji. Aku tidak lagi memiliki kata-kata untuk kuungkapkan, dan kurasa Kouji juga tidak. Jadilah kami duduk di bangku halte ini tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak mengapa, bagiku, begini saja sudah cukup. Dapat duduk bersampingan dengan Kouji saja rasanya sudah dapat membuatku sangat bahagia! Seandainya saja keadaan seperti ini dapat berlangsung terus....
Piip...piip...piip....
Suara itu! Kenapa alarm itu harus berbunyi di saat-saat seperti ini, sih? Aku memang berkeinginan untuk duduk di sini lebih lama lagi, tapi aku tahu konsekuensinya jika aku melakukan hal itu. Kumatikan alarm jam tanganku, dan dengan berat hati, aku kemudian berkata kepada Kouji, “Baiklah, aku harus segera pergi.”
“Eh? Ya sudah kalau begitu....”
Aku lantas beranjak dari bangku dan mengambil kotak gitarku yang tersandar di skuter Kouji. Kemudian, aku mengucapkan salam perpisahan singkat dengan cowok itu sebelum akhirnya berjalan meninggalkannya. Namun, baru beberapa langkah berjalan, aku mendengar Kouji memanggilku, membuatku menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya.
“Kalau aku bisa, aku akan datang.” seru Kouji dari halte bus itu, “ke street performance-mu.”
Apa? Kouji hendak melihatku tampil? Hatiku serasa mau meledak saking senangnya mendengar hal itu, dan senyumku langsung terkembang lebar. “Jangan hanya bilang tapi tidak datang!” balasku.
Mendengarku berkata seperti itu, Kouji tertawa perlahan. “Kalau sudah libur, aku pasti akan datang!” ia kembali menjawab.
Wajahku kembali menampakkan senyum; aku tahu itu. Kuanggukkan kepala sekali tanda setuju, dan Kouji juga mengangguk memberikan kepastian. Ini merupakan sebuah janji tak terucap antara aku dan dia bahwa kami akan bertemu kembali! Aku lantas berbalik untuk melanjutkan perjalananku ke rumah. Namun, hanya selang beberapa langkah, aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat sosok Kouji untuk terakhir kalinya. Dapat kulihat ia tengah melambaikan tangannya padaku, dan aku pun lantas membalas lambaiannya sebelum akhirnya beranjak pergi.
Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Harus kuakui, malam ini adalah malam paling indah dari seluruh malam yang telah kulalui. Dan karena dialah—Fujishiro Kouji—aku dapat merasakah malam seindah ini. Entah untuk keberapa kalinya seulas senyum kembali terlukis di wajahku, dan kemudian, aku berlari menuju rumah dengan diliputi oleh kegembiraan. Percakapan kecil kami malam ini memiliki akhir yang menyenangkan seperti harapanku.
(Taiyou No Uta Versi Teks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar